SEJARAH DAN VISI MISI KEMENTERIAN AGAMA RI
SEJARAH
KEMENTERIAN AGAMA
Sejarah
yang menjelaskan pemelukan agama-agama oleh penduduk di berbagai bagian
Nusantara sebelum kedatangan orang Eropa,
tidaklah banyak. Namun, dari
bukti yang ada menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara, cenderung memperlihatkan corak pemerintahan
agama, sebagaimana umumnya pola pemerintahan masa itu di mana pun. Dalam corak
pemerintahan semacam itu, pemelukan suatu agama oleh raja yang berkuasa
biasanya diikuti pemelukan agama oleh rakat, sehingga pada tingkat tertentu
diperlukan seperangkat organisasi pemerintahan yang mengelola masalah
keagamaan.
Di
kerajaan Hindu Kutai di Kalimantan, kasta Brahmana (agamawan) diketahui
menempati posisi penting dalam kerajaan. Sementara di kerajaan Sriwijaya, para
rajanya bertindak sebagai pelindung agama Budha dan memberikan perhatian khusus
pada penyebaran agama melalui lembaga pendidikan yang mereka dukung. Kerajaan
Hindu Majapahit di Jawa juga menempatkan para pemuka agama pada posisi yang
tinggi. Raja-raja Majapahit menempatkan diri sejajar dengan para dewata. Untuk
mengurus persoalan agama, raja-raja Majapahit dibantu pejabat agama yang
dihimpun ke dalam Dharmadhyaksa.
Baik
selama berada dalam. pengaruh agama Hindu maupun sesudah penetrasi agama Budha,
pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara memiliki tradisi
pengelolaan masalah keagamaan tersendiri. Tradisi ini masih terus berlangsung
ketika Islam mulai menanamkan pengaruhnya. Sejak kelahirannya, Islam mendorong
kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan akan pengaturan tersendiri masalah-masalah
keagamaannya. Meskipun administrasi bidang agama pada kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara tidak banyak diketahui secara rinci, para raja yang memeluk Islam
umumnya menggunakan gelar Sultan dan memiliki kekuasaan yang juga mencakup
wilayah agama. Tidak jarang para raja sendiri sebenamya adalah orang-orang yang
telah mendalam ajaran Islam sehingga dalam diri mereka tergabung dua fungsi,
yaitu sebagai penguasa sekaligus ahli agama.
Hal
ini antara lain tampak pada diri Sunan Giri sehingga penguasa Pajang meminta
gelar Sultan kepadanya. Demikian pula penguasa Cirebon, Panembahan Ratu, yang
disebut sebagai seorang guru susuhunan yang dipercayai memiliki kekeramatan. Di
kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani,
dan Nuruddin Ar-Ramiri pemah menduduki jabatan Syekh al-Islam, jabatan tinggi
kerajaan di bawah Sultan. Posisi sebagaimana diduduki Ar-Ramiri sebagai
pembantu dan penasehat utama Sultan juga pemah diemban Syekh Yusuf al-Maqassari
di kesultanan Banten semasa Sultan Agung Tirtayasa.
Pengaruh
para pemuka agama di kerajaan seperti Demak dan Mataram sudah umum. diketahui.
Sunan Kudus, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa,
diketahui sangat dekat dengan Sultan Demak dan mempunyai andil dalam penyerangan
terhadap kerajaan Hindu Majapahit. Sunan Giri, wali penyebar Islam yang lain,
memiliki kekuasaan luas di Gresik dan pengaruhnya sampai ke Ambon, Lombok dan
Makassar dan hannya ditundukkan oleh penguasa Mataram di kemudian hari dengan
menggunakan simbol-simbol keagamaan.
Sebagaimana
telah dialami kedua ajaran pendahulunya
agama Islam juga dijadikan sumber legitimasi bagi raja-raja beragama
Islam yang baru memperoleh kekuasaan atau yang ingin memperluas pengaruh.
Ketika Ki Ageng Pamanahan melantik puteranya sebagai penguasa Mataram, ia
memberikan gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Gelar Sayidin
Panatagama memberikan legitimasi kepadanya sebagai pemimpin kerohanian.
Demikian pula Sultan-Sultan Mataram, selanjutnya selalu menambah gelar dengan
Susuhunan. Sultan Agung --raja Mataram terbesar, selain bergelar Prabu
Anyakrakusunw, juga bergelar Susuhunan Ing alaga Mataram. Gelar susuhunan
bermakna kerohanian karena pada umumnya digunakan para wali penyebar Islam yang
biasanya dipendekkan menjadi Sunan, seperti Sunan Kudus, Sunan Giri, dan
seterusnya.
Tradisi pengelolaan masalah keagamaan di tingkat pemerintahan tersebut
terus bertahan sejalan dengan timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan Islam,
khususnya di Jawa, yakni kerajaan Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya di
Surakarta dan Yogyakarta. Fungsi Sultan Mataram sebagai Sayidin Panatagama
dilakukan melalui sebuah lembaga yang dipimpin seorang Penghulu Agung atau
biasa disebut Kanjeng Penghulu. Selain di tingkat pusat, ada pula lembaga agama
tingkat kabupaten, Kawedanan, serta di tingkat desa.
1.
AGAMA
PADA MASA PENJAJAHAN
Penyatuan
kekuasaan politik dan agama pada kerajaan di Jawa, khususnya Mataram, bukan
hanya terjadi di tingkat pusat melainkan juga di tingkat lebih bawah.
Kedatangan orang Eropa tidak dengan sendirinya. mengubah pola hubungan
kekuasaan politik dan agama, karena pada awalnya kedatangan mereka lebih
menitikberatkan pada perdagangan. Salah satu institusi warisan masa Ialu yang
justru tumbuh di masa penjajahan adalah yang apa dikenal dengan kepenghuluan. Penghulu
adalah seorang ahli agama Islam yang diangkat oleh pemerintah untuk secara
terbatas melaksanakan ketentuan agama di tengah masyarakat. Jabatan Penghulu
memang mengalami proses penertiban administratif selama kurun waktu penjajahan.
Sebelumnya tidak ada pembakuan. Meskipun Islam tidak mengenal hierakhi
keulamaan, jabatan penghulu, khususnya di Jawa, mengenal tingkatan yang
mengikuti penganturan kewilayahan pemerintah Hindia Belanda. Penghulu Kepala,
misalnya, ada di tingkat Kabupaten, di bawahnya ada Penghulu Distrik dan di
tingkat lebih bawah lagi ada Penghulu Onderdistrik.
Selain
memiliki wewenang mengawasi pemikahan, perceraian dan pembagian warisan menurut
hukum Islam, penghulu juga mempunyai kewenangan di bidang peradilan. Seorang
penghulu menangani berbagai persoalan masyarakat yang diputuskan berdasarkan
hukum Islam dan untuk itu ia juga menjabat ketua pengadilan agama.
Pada
dasamya politik Hindia Belanda.adalah sekuler dengan alasan untuk menjamin
kebebasan warganya untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun karena sebagian
besar rakyat beragama Islam sedangkan ajaran Islam mengandung unsure-unsur yang
tidak dapat dipisahkan dengan kenegaraan, maka pemerintah Hindia Belanda
terpaksa mengatur dan mengawasi bidang agama demi menjaga keamanan dan
ketertiban serta kepentingan rakyat, meskipun dalam kenyataannya kebijaksanaan
Kolonial Belanda disesuaikan dengan kepentingan mereka sebagai negara kolonial.
Demikianlah secara singkat politik keagamaan yang dirumuskan Snouck Horgronje.
Kebijaksanaan
Pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah agama secara garis besar
dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Pemerintah menjalin kemerdekaan setiap
orang untuk memeluk agama menurut keyakinannya masing-masing dan ibadah
diselenggarakan di rumah-rumah sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum.
Ibadah yang diselenggarakan di luar rumah harus mendapat izin. (2) Bagi
golongan Nasrani dijamin hak hidup dan kedaulatan organisasi dan gereja,
walaupun ada keharusan izin bagi guru agama, pendeta dan petugas misi/zending
dalam melakukan pekerjaan di suatu daerah tertentu. (3) Bagi penduduk pribumi
yang tidak memeluk agama Nasrani semua urusan agama diserahkan pelaksanaan dan
pengawasannya kepada raja, bupati, dan kepala bumiputra lainnya. (4) Pelajaran
agama tidak diberikan pada sekolah-sekolah negeri atau sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintah otonom, tetapi dalam penjabarannya diatur dalam
ordonantie 1905, yang kemudian diubah dengan Guru Ordonantie yang mengharuskan
guru guru agama meminta izin atau memberitahu dalam memberikan pelajaran agama.
Kalau
urusan agama di tingkat pusat saat ini ditangani satu departemen, di masa penjajahan Belanda urusan tersebut
ditangani beberapa instansi. Misalnya, urusan peribadatan umum, terutama bagi
golongan Nasrani, menjadi wewenang KementerianPengajaran dan Ibadah. Urusan
pengangkatan pejabat agama pribumi, urusan perkawinan, kemasjidan, haji dan
lain-lain menjadi urusan KementerianDalam Negeri melalui para Residen dan
Kepala Pemerintahan Swapraja lain. Soal politik dan gerakan agama ditangani
Kantoor der Adviseur voor Inlandsche en Mohammedansche Zaken, sedangkan soal
Mahkamah Islam Tinggi menjadi wewenang KementerianKehakiman.
Adapun
pengurusan bidang agama di daerah, para raja, bupati dan kepala. pribumi
lainnya melakukan tugasnya menurut tata cara dan kebiasaan yang berlaku, yaitu
tata aturan masyarakat serta tata pemerintahan pribumi sejak pra Kolonial di
mana bidang agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan.
Sampai akhir masa penjajahan Belanda susunan dan tata pemerintahan di daerah di
bawah tingkat keresidenan pada dasarnya masih merupakan bentuk-bentuk pribumi.
Pada
masa pendudukan Jepang, aturan-aturan yang berhubungan dengan urusan keagamaan
pada umumnya tidak banyak mengalami perubahan, selain penghapusan Kantoor der
Adviseur voor Inlandsche en Mohammedansche Zaken. Sebagai gantinya Pemerintah
Balatentara Jepang mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang menjadi bagian
dari Gunsaikanbu (Gubemur), sedangkan di daerah-daerah didirikan Shumuka
(Kantor Agama Daerah) sebagai bagian dari Pemerintah Karesidenan (Shu).
Pemerintah
pendudukan Jepang mula-mula bermaksud menjadikan Shumubu sebagai pengganti
Adviseur voor Inlandsche en Mokammedansche Zaken, dengan tugas (1) memberikan
nasehat-nasehat dalam soal Islam, dan (2) menjalankan penyelidikan dan
pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan politik pergerakan-pergerakan Islam.
Dalam perkembangannya, lembaga ini tidak dapat sepenuhnya melaksanakan tugas
tersebut karena politik dan perkembangan Perang Dunia II tidak menguntungkan
Jepang, sehingga, bala tentara Jepang membutuhkan bantuan dari bangsa Indonesia
dalam berperang menghadapi Sekutu.
Di masa pendudukan Jepang yang relatif singkat ini sejumlah tokoh
agama pribumi mendapat kesempatan menduduki jabatan di Shumubu dan Shumuka,
seperti Dr Husen Djajadiningrat dan K.H. Hasyim
Asy’ari. Keduanya pernah menjadi kepala Shumubu. Dr. Abdul Karim. Amrullah, K.H. Abdul Kahar Muzakkir dan K.H.
Mas Mansur sebagai penasehat. Ulama terkemuka yang pemah duduk di Shumuka,
antara. lain, adalah K.H. Abu Dardiri sebagai kepala
Shumuka Karesidenan Banyumas.
2.
BERDIRINYA
KEMENTERIAN AGAMA
Ketika
masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai instansi atau
kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah agama secara resmi diurus
satu lembaga yaitu KementerianAgama. Keberadaan KementerianAgama dalam struktur
pemerintah Republik Indonesia melalui proses panjang. Sebagai bagian dari
pemerintah negara Republik Indonesia ; KementerianAgama (awalnya bernama
Kementerian Agama) didirikan pada 3 Januari 1946. Dasar hukum pendirian ini
adalah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor I/SD tertanggal 3 Januari 1946.
Apabila
pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang masalah-masalah Agama,
terutama Islam, menjadi bagian dari pemerintahan penjajah, maka wajar dan dapat
dipahami jika umat Islam pada masa kemerdekaan menuntut adanya lembaga yang
secara khusus menangani masalah-masalah agama dalam bentuk Kementerian Agama.
Mohammad
Yamin adalah orang yang mula-mula mengusulkan dalam salah satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di samping
mempunyai kementerian pada umumnya, seperti luar negeri, dalam negeri,
keuangan, dan sebagainya, membentuk juga beberapa kementerian negara yang
khusus. Salah satu kementerian yang diusulkannya ialah Kementerian Islamiyah,
yang, katanya, memberi jaminan kepada umat Islam (masjid, langgar, surau,
wakaf) yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan
kesungguhan hati. Tetapi meskipun beberapa usulnya tentang susunan negara bisa
diterima dan menjadi bagian dan UUD 1945, usulnya
tentang ini tidak begitu mendapat sambutan. Mungkin karena ketika ia mengajukan
usul ini Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan tujuh kata bertuah yang
merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan telah tercapai.
Bukankah ucapan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya telah mencakup semuanya? Hanya saja, setelah Proklamasi Kemerdekaan
telah diucapkan dan konstitusi harus disyahkan dalam rapat yang diadakan pada
tanggal 18 Agustus, atas usul Bung Hatta, yang didukung oleh beberapa tokoh
Islam, PPKI mengganti tujuh kata bertuah itu, dengan
Ketuhanan yang Maha Esa.
Dalam
rapat tersebut, Latuharhary, seorang tokoh Kristen dari Maluku, mengusulkan kepada
rapat agar masalah-masalah agama diurus Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas,
seorang wakil Islam dari Lampung, mendukung usul agar urusan agama ditangani
Kementerian PendiÂdikan. Iwa. Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa
Barat, setuju gagasan perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu
sifatnya nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ia
sependapat dengan pikiran Latuharhary. Ki Hadjar Dewantoro, tokoh pendidikan
Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama mejadi tugas Kementerian Dalam
Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini, usul Kementerian Agama
akhirnya ditolak. Hanya enam dari 27 Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang setuju didirikannya Kementerian Agama.
Ketika
Kabinet Presidential dibentuk di awal bulan September 1945, jabatan Menteri
Agama belum diadakan. Demikian halnya, di bulan Nopember, ketika kabinet
Presidential digantikan oleh kabinet parlementer, di bawah. Perdana Menteri
Sjahrir. Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada
BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 11
Nopember 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H.
Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari Karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan
dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya
juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh
persetujuan BP-KNIP.
Kelihatannya,
usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang pleno BP-KNIP tanggal 25-28
Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas dalam pemandangan umum atas
keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya dalam negara
Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya
disambillalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran & Kebudayaan
atau departemen-Kementerianlainnya, tetapi hendaknya diurus oleh suatu
Kementerian Agama tersendiri.
Usul
tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir
dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan
suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta,
yang kemudian menyatakan, bahwa Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat
perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 januari
1946 pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang
antara lain berbunyi: Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana
Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan
KementerianAgama. Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di
udara oleh RRI ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh
pers dalam, dan luar negeri, dengan H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang
pertama
Pembentukan
Kementerian Agama segera menimbulkan kontroversi di antara berbagai pihak. Kaum
Muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan suatu
keharusan sejarah; Ia merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu
(Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden dari
Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial Belanda. Bahkan
sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian Agama ini lebih jauh lagi, ke
masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang sebagiannya memang memiliki
struktur dan fungsionaris yang menangani urusan-urusan keagamaan.
Tetapi
argumen ini dibantah oleh dokumen resmi yang diterbitkan pemerintahan Soekamo.
Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII, dinyatakan
bahwa di zaman kolonial Belanda, soal-soal yang bertalian dengan urusan agama
diurus terpencar-pencar dalam beberapa departemen. Sebagai contoh soal urusan
haji, perkawinan, pengajaran agama diurus oleh Departement van Binnenland sche
Zaken sic, atau Kementerianurusan-urusan Dalam Negeri). Soal Mahkamah Islam
Tinggi, Raad Agama (peradilan agama) serta penasihat Pengadilan Negeri diurus
oleh Departement van justitie dan lain sebagainya. Kemudian di zaman
penjajahan.Jepang, urusan agama itu dipegang oleh Shumubu, sebagai bagian dari
Gunseikanbu, sedang di daerah-daerah diurus oleh Shumuka sebagai bagian dari
pemerintah keresidenan. Oleh karena itu, keberadaan KementerianAgama adalah
suatu Kementerianyang baru, yang tidak ada hubungannya dengan zaman penjajahan,
karena ia dilahirkan seiring dengan Proklamasi Rakyat Indonesia menentang
penjajahan itu. Ia ditampilkan ke tengah-tengah forum perjuangan oleh rakyat
yang berjuang itu sendiri sebagai cermin jiwa dan kehendak aspirasi rakyat
terbesar.
Terlepas
dari masalah pengaitan eksistensi Kementerian Agama dengan kelembagaan
semacamnya yang pemah ada di masa sebelumnya, beberapa pengamat berargumen
bahwa pemÂbentukan Kementerian Agama merupakan bagian dari strategi Sjahrir
untuk mendapatkan dukungan bagi kabinetnya dari kaum Muslimin. Rosihan Anwar,
tokoh sosialis Muslim, misalnya, menyatakan, pandangan ini berdasarkan pada
pengakuan Sjahrir bahwa kaum Muslimin merupakan mayoritas penduduk Indonesia,
yang secara alamiah wajar memerlukan Kementerian khusus untuk mengelola
masalah-masalah keagamaan mereka
Pada
pihak lain, sejumlah pemimpin Indonesia, terutama dari kalangan non-Muslim dan
nasionalis, memandang Kementerian Agama merupakan konsesi yang terIalu besar
dari Republik yang baru berdiri kepada kaum Muslimin. Mereka khawatir, bahwa
Kementerian akan didominasi pejabat-pejabat Muslim dan, dengan demikian, akan
lebih memprioritaskan urusan-Âurusan Islam daripada urusan agama-agama lainnya
yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi, di antara mereka ada yang menuduh bahwa
Kementerian Agama merupakan langkah pertama kaum Muslimin untuk mewujudkan
negara Islam di Indonesia, setelah mereka gagal dalam sidang BPUPKI
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Bentuk
tipikal oposisi kalangan non Muslim terhadap eksistensi Kementerian Agama dapat
terlihat dari pandangan JWM. Bakker, pemimpin Katolik
yang bermukim di Indonesia. Sebagaimana dikutip Boland (1982:106-7), Bakker
menyatakan, bahwa sejak semula Kementerian Agama merupakan kubu Islam dan batu
loncatan untuk pembentukan sebuah negara Islam. Dia lebih lanjut menuduh, bahwa
pada perkembangan awalnya kementerian ini bersikap defensif, tetapi ketika ia
semakin kuat dan sadar akan kekuatannya, ia mulai melancarkan propaganda
(Islam) melewati batas-batas yang pernah diduga Sjahrir sendiri; bagian
propaganda dari Kementerian Agama menjadi sekuat negara itu sendiri.
Tuduhan ini tentu saja dijawab oleh para pemimpin Islam. Wahid Hasyim,
pemimpin NU yang kemudian menjabat Menteri Agama pada 1950-1952 menyatakan,
adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan perhatian lebih besar
kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah penduduk Muslim jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah kaum non Muslim. Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk
pengelolaan masalah-masalah Islam dan kaum Mushmin tidak sama besarnya dengan
penanganan masalah-masalah kaum non-Muslim.
Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada diskriminasi agama.
3.
SEJARAH
KEMENTERIAN AGAMA KOTA TASIKMALAYA
Sebagai tindaklanjut
dari berdirinya Kementerian Agama RI maka ditetapkan Kementerian Agama pada
tingkat daerah (daerah tk.II) kabupaten dan kota yang mengurus segala keperluan
sipil terkait permasalahan baik yang berhubungan dengan kehidupan, ras, agama,
serta kepentingan sipil lainnya. Kementerian Agama Kota Tasikmalaya ini pun
berdiri sejak tahun 2002 gedung pertamanya terletak di Jl. Indihiang tepatnya
di Gedung YIC Kota Tasikmalaya. Kemudian dibangun gedung baru dimana yang
menjadi tempat kedudukan Kementerian Agama Kantor Kota Tasikmalaya sampai saat
ini yaitu di jalan Noenoeng Tisnasaputra No. 5a Kecamatan Tawang Kota
Tasikmalaya Kode POS 46115 telepon/fax (0265) 340003, yang di resmikan oleh
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat Bapak Drs. H.
Muhaimin Luthfie. Selanjutnya deretan nama-nama pejabat esselon III yang
menduduki jabatan sebagai kepala pada Kantor Kementerian Agama Kota Tasikmalaya
diantaranya; Drs. EDENG ZA, M.Pd, Dr.
MUCHSIN An SYADILIE, M.Si, Drs. YOYO ABDUL AZIZ, M.Si, Drs. DEDE ABDULLAH, MH,
dan yang terakhir Drs. H. AHMAD PATONI, MM, Drs. H. MUNADI, MM., Drs. H. YUDHI YUSUPYANDI, MM., dan yang terakhir Drs. H. HILMY RIVA'I, M.Pd. menjabat
sampai dengan sekarang.